Articles

Read the articles about accounting,internal audit, tax, human resource,information and technology.

Aspek Pajak Penghasilan Bagi Entitas Ber-SAK ETAP

23 April 2015
Category: TAX
Penulis:         ALIYATUL MASFUFAH, S.E
Aspek Pajak Penghasilan Bagi Entitas Ber-SAK ETAP

Bila menilik kembali beberapa tahun sebelumnya tepatnya pada tahun 2009, terbit sebuah standard akuntansi keuangan yang dikhususkan bagi entitas yang belum atau tidak go-public atau SAK ETAP. Entitas yang meyandang status sebagai usaha kecil atau menengah yang tidak memiliki akuntabilitas publik dan tidak menerbitkan laporan keuangan untuk pengguna eksternal sebagai pemilik yang tidak terlibat langsung dalam pengelolaan usaha, kreditor, ataupun lembaga pemringkat kredit.

Sebelumnya, apa yang disebut sebagai entitas yang ber-SAK ETAP? Pertama, tidak tau belum dalam proses mengajukan pernyataan pendaftaran, pada otoritas pasar modal . Kedua, tidak menguasai asset dalam kapasitas sebagai fidusia untuk sekelompok besar masyarakat seperti bank, entitas asuransi, pialang, dan/atau pedagang efek , dana pension, reksa dana dan bank investasi. Dengan hal ini, dapat pula bahwa entitas yang ber-SAK ETAP adalah entitas yang msih kecil dan menengah. Kemudian, yang menjadi pertanyaan, bagaimana kewajiban perpajakan bagi entitas ber-SAK ETAP? Jawaban dari pertanyaan ini sebenarnya sudah dijelaskan berdasarkan pasal 28 UU KUP dan penjelasannya. Ada keterkaitan antara pajak dan akuntansi bagi entitas ber-SAK ETAP ini.

  1. Laba/ Rugi Versi Etap. Besarnya utang pajak berangkat dari perhitungan laba/rugi yang disusun secara akuntansi.
  2. Koreksi Positif/ Negatif. Wajib Pajak diwajibkan untuk melakukan penyesuaian/ koreksi positif/ negatif atas laporan keuangan versi akuntansi sesuai dengan ketentuan UU Pajak Penghasilan. Koreksi Positif merupakan koreksi atau penyesuaian yang mengakibatkan penghasilan kena pajak atau laba fiskal meningkat. Sedangkan koreksi negatif merupakan penyesuaian atau koreksi yang mengakibatkan penurunan penghasilan kena pajak atau laba fiskal.
  3. Laba/ Rugi versi Fiskal. Setelah dilakukan penyesuaian atau koreksi, kemudian wajib pajak melakukan perhitungan berapakah laba/ rugi fiskal untuk menentukan berapa pajak penghasilan terutang. Apabila dalam tahun pajak berjalan wajib pajak telah melakukan pengangsuran pembayaran pajak melalui pihak ketiga maka angsuran tersebut dapat mengurangi PPh Baan yang terutang. Sehingga dapat ditentukan berpa kurang/ lebih bayarnya.

Apabila akuntansi memberikan kemudahan, begitu pula dengan perpajakanyang mengatur criteria sendiri tentang entitas yang tergolong kecil dan menengah yang kriterianya tidak sama persis seperti pada SAK ETAP. Dalam ketentuan perpajakan bagi entitas yang memiliki omzet <4,8 Milyar untuk perhitungan tariff telah diatur berdasan PP 46 yang sifatnya final, dan untuk PPh Badannya mendaptkan fasilitas sebesar 50% (Lima Puluh Persen) atau sebesar 12,5%.

Bagaimana dengan Fasilitas Tarif PPh Badan bersarkan UU PPh?

Secara spesifik, fasilitas lainnya juga telah diatur berdasarkan UU PPh, yaitu pasal 31E dimana peredaran Bruto yang dimaksud dalam Pasal 31E UU PPh merupakan penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha sebelum dikurangi biaya untuk mendaptkan, menagih , dan memelihara penghasilan baik yang berasal dari Indonesia maupun dari Luar Indonesia, meliputi:

    1.Penghasilan yang dikenai PPh bersifat Final

    2.Penghasilan yang dikenai PPh yang bersifat tidak Final

    3.Penghasilan yang dikecualikan dari Objek Pajak.:

Lebih jelasnya berikut bunyi dari pasal 31E UU PPh:

“(1) Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

(2) Besarnya bagian peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dinaikkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.”

Penjelasan Pasal 31E

Ayat (1)

Contoh 1:

Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp4.500.000.000,00 (empat miliar lima ratus juta rupiah) dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Penghitungan pajak yang terutang:

Seluruh Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh dari peredaran bruto tersebut dikenai tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif Pajak Penghasilan badan yang berlaku karena jumlah peredaran bruto PT Y tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

Pajak Penghasilan yang terutang: (50% x 28%) x Rp500.000.000,00 = Rp70.000.000,00

Contoh 2:

Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah) dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang:

    1.Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas

    (Rp 4.800.000.000,00 : Rp 30.000.000.000,00) x Rp 3.000.000.000,00 = Rp 480.000.000)

    2.Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas:

    Rp 3.000.000.000,00 – Rp 480.000.000,00 = Rp 2.520.000.000,00

Pajak Penghasilan yang terutang:

    ·(50% x 28%) x Rp 480.000.000,00 = Rp 67.200.000,00

    ·28% x Rp 2.520.000.000,00 = Rp 705.600.000,00(+)

Jumlah Pajak Penghasilan yang terutang

Rp 772.800.000,00

Ayat (2)

Cukup jelas

Pelaporan Pajak Beberapa Masa Pajak (PMK Nomor 184/2007 jo. PMK Nomor 182/PMK.03/2007)

Surat Pemberitahuan (SPT) merupakan muara akhir dari kewajiban perpajakan. SPT yang sudah diisi dengan benar, lengkap, dan jelas, harus dilaporkan setiap tahun pajak atau masa pajak yang sesuai dengan jenis pajaknya. Bagi wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan Menengah/ Kecil Menengah (ber-SAK ETAP), UU KUP pun telah menyediakan kemudahan terkait dengan bagaimana pelaporan SPT Masa tersebut.

Bagaimana dengan Pengalihan Non-Objek Pajak?

Perpajakan juga memyediakan fasilitas lainnya bagi usaha mikro dan Kecil Menengah diberikan hadiah, bantuan, dan sumbangan yang diterima oleh OP yang memiliki ataupun menjalankan usaha produktif. Fasilitas ini tertuang dalam PMK Nomor 245/PMK.03/2008. Akan tetapi, fasilitas ini akan tidak berlaku apabila terdapat hubungan istimewa, yaitu hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak pemberi dan OP yang menerima hibah, bantuan, ataupun sumbangan.

Perundang-undangan pajak telah memberikan benayak kemudahan dan fasilitas bagi usaha mikro dan Kecil Menengah, namun pastinya tidak ada satupun entitas yang selamanya ingin dilabeli sebagai usaha mikro selamanya. Saat entitas UMKM tersebut sudah lebih maju, saat itu pula konstribusi perpajakan kepada Negara akan lebih dituntutatau diperlakukan sama dengan wajib pajak yang sudah besar. Akan tetapi, selama entitas tersebut masih dalam proses, diharapkan bahwa fasilitas perpajakan yang diberikan oleh pemerintah dalam mendorong pemenuhan kewajiban perpajakn bagi UMKM, atas hasilnya dapat dipergunakan sesuai dengan tujuan Negara dan Undang-Undang.

   For Further Information, Please Contact Us!