Articles

Read the articles about accounting,internal audit, tax, human resource,information and technology.

Rasio Debt Equity Ratio (DER) Antara Hutang Dan Modal Yang Diperbolehkan Oleh Pihak Fiskus Pajak

09 November 2015
Category: TAX
Penulis:         Moch. Ferdiansyah, S.E
Rasio Debt Equity Ratio (DER) Antara Hutang Dan Modal Yang Diperbolehkan Oleh Pihak Fiskus Pajak

Sejarahnya, ketentuan DER sebagai basis perhitungan PPh pernah diterapkan di era Menteri Keuangan Radius Prawiro, sekitar awal Oktober 1984 dengan perbandingan utang terhadap modal kala itu ditetapkan 3:1. Dasar hukum penetapan DER sebagai basis perhitungan PPh adalah Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 1002/KMK.04/1984 tentang Penentuan Perbandingan Antara Utang dan Modal Sendiri untuk Keperluan Pengenaan Pajak Penghasilan. Berselang enam bulan, awal bulan Maret 1985, Radius Prawiro membekukan ketentuan DER karena dikhawatirkan dapat menghambat perkembangan dunia usaha. Sebagai payung hukumnya, terbit KMK Nomor 254/KMK.04/1985 tentang Penundaan Pelaksanaan KMK Nomor 1002/KMK.04/1984 tentang Penentuan Perbandingan Antara Utang dan Modal Sendiri untuk Keperluan Pengenaan Pajak Penghasilan.

Debt To Equity Ratio (DER) yaitu rasio yang membandingkan jumlah hutang terhadap ekuitas.Rasio ini sering digunakan para analis dan para investor untuk melihat seberapa besar hutang perusahaan jika dibandingkan ekuitas yang dimiliki oleh perusahaan atau pemegang saham.Semakin tinggi angka DER maka diasumsikan perusahaan memiliki resiko yang semakin tinggi terhadap likuiditasnya. Menumpuk utang dan mengecilkan modal termasuk salah satu cara menghindari pembayaran pajak. Karena utang menimbulkan bunga dan bunga mengurangi penghasilan. Ada juga pemegang saham yang senang mencatatkan utang daripada modal agar "dividen" yang dia terima dicatat oleh perusahaan sebagai pengembalian hutang. Karena tidak ada pembatasan hutang, maka sebanyak apapun hutang pemegang saham atau hutang usaha lainnya tidak masalah. Sekarang tidak bisa lagi setelah terbit Peraturan Menteri Keuangan nomor169/PMK.03/2015.

Wajib Pajak Yang Diatur Dalam Ketentuan Ini

Wajib Pajak yang diatur dan wajib mengikuti ketentuan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal sebagaimana diatur dalam peraturan ini adalah bagi Wajib Pajak badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia yang modalnya terbagi atas saham-saham.

Hutang

Hutang adalah Kewajiban suatu badan usaha / perusahaan kepada pihak ketiga yang dibayar dengan cara menyerahkan aktiva atau jasa dalam jangka waktu tertentu sebagai akibat dari transaksi di masa lalu.Hutang yang ditentukan dalam Peraturan ini adalah saldo rata-rata utang pada satu tahun pajak atau bagian tahun pajak, yang dihitung berdasarkan:

    ·Rata-rata saldo hutang tiap akhir bulan pada tahun pajak yang bersangkutan; atau

    ·Rata-rata saldo hutang tiap akhir bulan pada bagian tahun pajak yang bersangkutan.

Saldo hutang yang dimaksud di atas meliputi saldo hutang jangka panjang maupun saldo hutang jangka pendek termasuk saldo hutang dagang yang dibebani bunga.

Modal

Modal merupakan suatu yang baik dalam bentuk uang atau bentuk lainnya yang di gunakan dalam proses usaha untuk mencapai dan menghasilkan tujuan perusahaan yaitu mendapatkan keuntungan. Sedangkan jika melihat dari sisi kewajiban maka modal adalah kewajiban perusahaan terhadap pemilik perusahaan.Modal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah saldo rata-rata modal pada satu tahun pajak atau bagian tahun pajak, yang dihitung berdasarkan:

    ·Rata-rata saldo modal tiap akhir bulan pada tahun pajak yang bersangkutan; atau

    ·Rata-rata saldo modal tiap akhir bulan pada bagian tahun pajak yang bersangkutan.

Saldo modal ini meliputi ekuitas sebagaimana dimaksud dalam standar akuntansi keuangan yang berlaku dan pinjaman tanpa bunga dari pihak yang memiliki hubungan istimewa.

Besaran Nilai Rasio Utang dan Modal

Besarnya perbandingan antara utang dan modal yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan ini adalah sebesar empat dibanding satu (4:1).Dikecualikan dari ketentuan untuk memiliki perbandingan utang dan modal ini adalah bagi:

    ·Wajib Pajak bank;

    ·Wajib Pajak lembaga pembiayaan;

    ·Wajib Pajak asuransi dan reasuransi;

    ·Wajib Pajak di bidang pertambangan migas, umum dan lainnya yang terikat kontrak bagi hasil, kontrak karya atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang dalam kontraknya mengatur secara khusus tentang batasan utang dan modal ini;

    ·Wajib Pajak yang atas seluruh penghasilannya dikenai PPh final; dan

    ·Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang infrastruktur.

Wajib Pajak dengan Rasio Hutang dan Modal Yang Melebihi

Apabila besarnya rasio antara hutang dan modal Wajib Pajak melebihi besarnya perbandingan yang ditetapkan dalam peraturan ini, maka biaya pinjaman yang dapat diperhitungkan dalam menghitung penghasilan kena pajak adalah sebesar biaya pinjaman sesuai dengan besarnya perbandingan yang telah ditetapkan ini.Biaya pinjaman yang dimaksud ini adalah biaya yang ditanggung Wajib Pajak sehubungan dengan peminjaman dana yang meliputi:

    ·Bunga pinjaman;

    ·Diskonto dan premium yang terkait dengan pinjaman;

    ·Biaya tambahan yang terkait dengan perolehan pinjaman (arrangement of borrowings);

    ·Beban keuangan dalam sewa pembiayaan;

    ·Biaya imbalan karena jaminan pengembalian utang; dan

    ·Selisih kurs yang berasal dari pinjaman dalam mata uang asing.

Besarnya biaya pinjaman sesuai dengan perbandingan utang dan modal juga wajib memperhatikan ketentuan Pasal 6 dan Pasal 9 UU PPh.Jika Wajib Pajak memiliki utang kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, disamping harus memenuhi ketentuan di atas, juga harus memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha sesuai ketentuan Pasal 18 ayat (3) UU PPh.Dalam hal Wajib Pajak mempunyai saldo ekuitas nol atau kurang dari nol, maka seluruh biaya pinjaman Wajib Pajak bersangkutan tidak dapat diperhitungkan dalam penghitungan penghasilan kena pajak.

Kewajiban Menyampaikan Laporan Hutang

Dalam peraturan ini juga diatur mengenai kewajiban bagi Wajib Pajak yang mempunyai utang swasta luar negeri, wajib menyampaikan laporan besarnya utang swasta luar negeri tersebut kepada Direktur Jenderal Pajak.Apabila Wajib Pajak tidak menyampaikan laporan mengenai utang swasta luar negeri ini, maka atas biaya pinjaman yang terutang dari utang swasta luar negeri tersebut tidak dapat dikurangkan untuk menghitung penghasilan kena pajak.Tata cara pelaporan utang swasta luar negeri ini diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Saat berlakunya ketentuan ini adalah sejak Tahun Pajak 2016.Diharapkan agar setiap orang mengetahuinya guna dalam rangka menghadapi dampak krisis keuangan global,sangat mendesak untuk memperkuat basis perpajakan nasional guna mendukung penerimaan negara dari sektor perpajakan yang lebih stabil

   For Further Information, Please Contact Us!