Articles

Read the articles about accounting,internal audit, tax, human resource,information and technology.

EQUALITY IN THE WORKPLACE : ELIMINATION OF DISCRIMINATION IN RESPECT OF EMPLOYMENT

31 July 2019
Category: HUMAN RESOURCE
Penulis:         Wahyu Intan Martina, S. Psi
EQUALITY IN THE WORKPLACE : ELIMINATION OF DISCRIMINATION IN RESPECT OF EMPLOYMENT

Masih jelas di ingatan akhir Juni lalu seorang guru sekolah dasar di Bekasi yang karena berbeda pandangan politik dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) dipecat dari sekolah tempatnya mengajar. Kasus lain seorang karyawan diminta berhenti bekerja di sebuah yayasan yang berafiliasi dengan agama tertentu hanya karena memiliki istri yang berbeda keyakinan dengan yayasan.

Persoalan diskriminasi saat ini banyak dibahas kalangan pemerhati SDM. Bukan karena batasan diskriminasi terkesan “abu-abu” namun yang pasti akan selalu ada pihak yang dirugikan akan munculnya persoalan ini. Apalagi jika diskriminasi di tempat kerja berdampak kepada kemajuan karir seseorang. Yang paling santer adalah jika itu mengacu kepada gender tertentu seperti halnya pada buruh atau pekerja perempuan. Ketiadaan tunjangan pasangan, penempatan sebagai karyawan kontrak karena pandangan wanita akan kembali ke rumah daripada memilih bekerja sehingga tidak mungkin langgeng dalam suatu perusahaan serta persoalan lainnya seperti kasus kekerasan serta pelecehan menjadi isu penting yang diusung oleh aktivis perempuan saat melakukan demo guna memperoleh keadilanserta kesetaraan.

Mengacu beberapa kasus diatas sebenarnya apakah diskriminasi di tempat kerja? Diskriminasi di tempat kerja adalah segala bentuk pembedaan, pengabaian, pengistimewaan atau pilih kasih yang dilakukan berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, paham politik, pencabutan (ekstraksi) secara nasional atau asal usul sosial dan kondisi fisik (penyandang disabilitas dan HIV/AIDS), yang berdampak pada kesetaraan kesempatan atau perlakuan dalam pekerjaan. Praktik diskriminasi di lingkungan kerja merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak pekerja, yang seharusnya senantiasa diperlakukan sama, sebagaimana diatur dalam Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 111 Tahun 1958 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan.

Di Indonesia sejumlah peraturan serta dasar hukum ditetapkan guna melindungi hak-hak pekerja untuk memperoleh kesempatan sama seperti halnya UU Ketenagakerjaan Nomer 13 tahun 2013 di Pasal 5 dan 6 yang mengatur dasar ketenagakerjaan nasional melalui perlindungan kepada pekerja/buruh sejak proses sebelum bekerja, selama bekerja dan sesudah bekerja serta Kepmenakertrans Nomor 184 Tahun 2013 tentang Pembentukan Gugus Tugas Kesempatan dan Perlakuan yang Sama Dalam Pekerjaan.

Di luar negeri diskriminasi tidak hanya terbatas pada SARA (Suku, Agama dan Ras) namun juga wacana khusus melindungi pekerja di usia 40 tahun keatas. Banyak stigma yang beredar bahwa di usia ini relatif resistensi terhadap perubahan, arogan karena merasa berpengalaman serta memiliki karakter keras kepala. Stereotipe tersebut yang kemudian membuat kepercayaan diri pekerja diusia ini mulai turun dan menjadi hambatan besar bagi perkembangan karir mereka. Guna mengantisipasi hal tersebut maka pemerintah AS tidak tinggal diam dengan menerbitkan sejumlah peraturan seperti halnya Age Discrimination in Employment Act yang bertujuan melindungi pekerja diusia 40 tahun ke atas. Negara Inggrispun sama dengan memperbanyak pekerja senior sebagai bagian inklusivitas dan keberagaman.

Beberapa faktor yang menjadi dasar untuk melakukan tindakan diskriminatif terhadap pekerja.

1.Agama. Diskriminasi berbasis agama di tempat kerja sama sekali tidak boleh ditolerir. Kendatipun demikian, ada beberapa hal sangat khusus yang perlu diterapkan di tempat kerja yang boleh jadi dapat membatasi kebebasan pemeluk agama tertentu. Sebagai contoh, mensyaratkan penggunaan baju tertentu yang bertujuan baik guna menjaga keselamatan kerja namun tetap menjaga syariat.

2.Pandangan politik. Perusahaan sama sekali tidak memiliki hak mengatur para pekerja dalam menentukan sikap politik dan menentukan pilihan politik.

3.Penyandang disabilitas. Di seluruh dunia saat ini ditaksir ada sekitar 470 juta angkatan kerja yang merupakan penyandang disabilitas. Namun, faktanya, sebagian besar penyandang disabilitas masih sulit masuk ke dunia kerja dan terpaksa hidup sebagai pengangguran dan kemiskinan akibat marginalisasi terhadap penyandang disabilitas.

4.Penyandang HIV/AIDS. Pengidap HIV/AIDS kerap diperlakukan secara diskriminatif di lingkungan kerja dan di masyarakat tempat mereka tinggal.

5.Ras/warna kulit. Perlakuan berbeda di tempat kerja melibatkan kelompok etnis/suku tertentu.

Guna mengantisipasi hal tersebut Pengusaha harus mengadopsi praktik ketenagakerjaan dengan mematuhi lima prinsip Pedoman Tripartit tentang Praktik Ketenagakerjaan yang Adil:

1.Merekrut dan memilih karyawan berdasarkan prestasi - seperti ketrampilan, pengalaman atau kemampuan untuk melakukan pekerjaan - tanpa memandang usia, ras, jenis kelamin, agama, status perkawinan dan tanggung jawab keluarga, atau cacat.

2.Memperlakukan karyawan secara adil dan hormat, serta menerapkan sistem manajemen sumber daya manusia yang progresif.

3.Memberi karyawan kesempatan sama untuk dipertimbangkan dalam pelatihan dan pengembangan berdasarkan kekuatan dan kebutuhan mereka untuk membantu mereka mencapai potensi karir.

4.Berikan apresiasi karyawan secara adil berdasarkan kemampuan, kinerja, kontribusi dan pengalaman mereka.

5.Mematuhi undang-undang ketenagakerjaan dan mengadopsi Pedoman Tripartit tentang Praktik Ketenagakerjaan yang Adil semisal dalam hal rekrutmen.

Tidak hanya perusahaan dimana pekerja juga memiliki peranan penting dalam mengatasi atau menghindarkan diskriminasi di tempat kerja, melalui :

  1. Berpartisipasi dalam beragam jaringan kelompokbaik yang disponsori perusahaan ataupun organisasi profesional eksternal.
  2. Kembangkan dukungan sosial informal yang terdiri dari orang-orang yang dapat menawarkan wawasan ke dalam tempat kerja.
  3. Pertimbangkan terapi atau konseling. Program bantuan karyawan berbasis masyarakat juga dapat menawarkan pendekatan yang lebih holistik dalam menangani isu-isu tempat kerja.
  4. Cari figur yang dapat membantu bisa dari eksternal maupun atasan yang dianggap mampu membantu dalam perkembangan karir.
  5. Jika dalam prosesnya pernah mengalami peristiwa diskriminasi di tempat kerja segera mencari penyelesaian secara kekeluargaan terlebih dahulu melalui mengajukan keluhan kepada atasan, departemen sumber daya manusia, sebelum akhirnya kepada serikat pekerja, dan/ atau pengacara.

Setiap karyawan ataupun pengusaha memiliki peran membuat tempat kerja menjadi adil dan inklusif. Menghargai karyawan atas nilai unik yang mereka bawa ke tempat kerja dan memanfaatkan perbedaan menjadi sesuatu yang bernilai tambah justru akan menjadi keuntungan tersendiri bagi perusahaan. Dengan berkembang bersama, perusahaan memperoleh karyawan terbaik melalui akses cakupan pekerja yang lebih luas dan tentu saja reputasi karena menerapkan prinsip keberagaman. Sementara dari karyawan yang memperoleh kesetaraan diharapkan mampu mengeluarkan potensi terbaik yang dimiliki. Sinergi yang dapat meningkatkan produktifitas dan moralitas karyawan secara keseluruhan.

   For Further Information, Please Contact Us!