Articles

Read the articles about accounting,internal audit, tax, human resource,information and technology.

PROJECTING BUSINESS IN A VUCA WORLD

18 May 2019
Category: ACCOUNTING
Penulis:         Girindra Wardana, S.A.
PROJECTING BUSINESS IN A VUCA WORLD

Dunia bisnis berubah semakin pesat dalam beberapa dekade terakhir. Perubahan tersebut dapat bersifat radikal –mengganggu perkembangan perusahaan, maupun transformative- menginisiasi inovasi, dan sering dipicu oleh beberapa faktor seperti teknologi dan regulasi pemerintah. Teknologi telah mengubah cara kita bertindak, berbagi informasi dan memahami dunia, dan telah memberikan konsumen kekuatan yang belum pernah dimiliki sebelumnya. Teknologi menghilangkan batas di antara pelaku pasar. Di sisi lain, regulasi pemerintah dapat meningkatkan kompleksitas operasional dan ketidakpastian bisnis perusahaan, terlebih jika interval perubahan terjadi dalam kurun waktu yang relatif singkat. Kondisi tersebut merupakan salah satu karakteristik VUCA.

VUCA merupakan akronim dari volatile (cepat berubah), uncertain (tidak pasti), complex (rumit), dan ambiguous (ambigu). Istilah ini pertama kali digunakan oleh otoritas militer Amerika Serikat dan kemudian dipopulerkan oleh Bob Johansen dalam bukunya berjudul Leaders Make the Future: Ten New Leadership Skills for an Uncertain World. Perusahaan biasanya membuat proyeksi bisnis untuk mengantisipasi berbagai hambatan yang mungkin terjadi dalam mengimplementasikan strategi. Namun, dalam kondisi VUCA, perusahaan perlu menyesuaikan pola penyusunan proyeksi tersebut berdasarkan pada tingkat kepastian hasil (certainty of outcomes) dan kesadaran situasional perusahaan (situational awareness) atas suatu kejadian/aktivitas tertentu.

Tabel Kriteria Kategori VUCA

Sumber: www.vucabook.com

Kategori pertama merupakan volatile. Bennett dan Lemoine (2004) berpendapat bahwa suatu kondisiyang cepat berubah adalah kondisi yang tidak dapat diprediksikan atau tidak stabil dalam jangka waktu yang tidak diketahui, tetapi penyebab atau informasi terkait hal tersebut dapat dipahami atau diakses dengan mudah. Contoh dari kondisi ini adalah fluktuasi harga sebagai akibat dari bencana alam yang menyebabkan pemasok perusahaan kehilangan sumber daya yang dikuasai. Perusahaan harus dapat melihat peluang yang mungkin muncul, apakah fluktuasi tersebut merupakan kesempatan perusahaan untuk memperkenalkan produk baru yang lebih ekonomis atau lebih sesuai dengan keinginan pelanggan. Di sisi lain, perusahaan dapat melakukan lindung nilai atas komoditas bahan baku atau menimbun persediaan cadangan setiap melakukan pembelian sesuai dengan tingkat risiko yang dapat ditoleransi. Perusahaan dapat menetapkan efektivitas lindung nilai (hasil aktual) berada dalam kisaran 80-125% untuk keperluan proyeksi.

Kategori kedua merupakan uncertain. Kondisi uncertain merupakan kondisi dimana penyebab dasar suatu kejadian diketahui tetapi informasi yang diketahui atas hal tersebut sangat terbatas. Contoh dari kondisi ini adalah penundaan peluncuran produk baru oleh kompetitor yang telah dinantikan oleh pasar, padahal hasil dari peluncuran tersebut akan digunakan oleh perusahaan dalam menyusun strategi perlawanan. Perusahaan harus dapat menentukan dengan jelas, segmen mana yang ditarget perusahaan. Menggantungkan strategi berdasarkan strategi kompetitor dapat mengacaukan segmen yang sebenarnya dituju oleh perusahaan. Perusahaan juga dapat melakukan analisismenggunakan PESTEL, SWOT, atau alat lainnya dengan interval yang lebih pendek dengan pelaksanaan analisis sebelumnya. Analisis dengan interval yang lebih pendek diharapkan dapat mengidentifikasi disruptive innovation yang sebelumnya tidak disadari oleh perusahaan. Selain itu, perusahaan dapat memproyeksikan pembentukan fungsi khusus untuk mengumpulkan, menginterpretasikan, dan menyebarkan informasi tentang pesaing kepada personil yang berkepentingan. Pembentukan fungsi khusus ini memang dapat menimbulkan beban baru, tetapi manfaat yang akan didapatkan tentu lebih besar apabila fungsi tersebut dapat berjalan dengan baik.

Kategori ketiga merupakan complex.Kondisi ini merupakan kondisi yang tercipta dari banyak bagian atau variabel yang saling berhubungan. Sebagian informasi dapat diakses atau diprediksi dengan mudah, tetapi volume atau sifat informasinya dapat menyebabkan proses yang berlebihan di perusahaan. Contoh dari kondisi ini adalah ketika perusahaan mengoperasikan bisnis di berbagai negara yang memiliki tarif pajak, budaya kerja, dan nilai masyarakat sekitar yang berbeda-beda. Perusahaan dapat membentuk tim khusus untuk mengkoordinasikan seluruh sumber daya yang dimiliki untuk menilai tingkat kompleksitas prosedur dan/atau operasional mengurangi kompleksitas yang ada. Jika tidak, perusahaan dapat mendelegasikan fungsi tersebut kepada pihak ketiga. Meminimalkan kompleksitas merupakan hal yang sangat penting. Berdasarkan penelitian Global Simplicity Index, perusahaan mengalami kerugian rata-rata 10,2% dari EBITDA sebagai akibat dari kompleksitas yang sebenarnya tidak penting (baik dari faktor manusia, proses, desain organisasi, strategi, dan barang dan jasa).

Kategori keempat merupakan ambiguous. Kondisi ini merupakan kondisi dimana penyebab suatu hambatan tidak jelas atau tidak pernah terjadi sebelumnya. Contoh dari kondisi ini adalah ketika perusahaan memutuskan untuk memasuki pasar yang sedang berkembang atau meluncurkan produk baru diluar kompetensi utama perusahaan. Perusahaan harus menggunakan pendekatan eksperimental dalam pembuatan produk tersebut, yakni mempercepat pembuatan prototip agar perusahaan dapat segera memperoleh saran dan umpan balik tentang apa yang diinginkan pelanggan. Dengan demikian, perusahaan juga dapat segera menyempurnakan produk yang akan diluncurkan. Contoh lainnya adalah penerbitan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) baru yang mengatur tentang pendapatan. Penerbitan PSAK tersebut akan semakin meningkatkan kompleksitas pelaporan. Perusahaan juga dapat mengalami kebingungan apabila perusahaan belum memiliki SDM yang memadai untuk implementasi PSAK tersebut. Oleh karena itu, perusahaan perlu mempertimbangkan hal tersebut dalam proses penyusunan proyeksi bisnis.

Perusahaan harus menyusun proyeksi bisnis sesuai dengan prioritas yang ditetapkan, baik prioritas pada tingkat strategis maupun pada tingkat operasional. Sebagai ilustrasi, sebuah perusahaan layanan pos dan pengiriman paket, sama seperti banyak perusahaan sejenis lainnya, berjuang untuk bertahan dalam era yang semakin kompetitif karena kemunculan pesaing penyedia layanan digital. Perusahaan mengumpulkan seluruh karyawan yang mana direktur eksekutif meminta mereka untuk fokus pada dua hal prioritas operasional, yakni mengurangi waktu pengiriman (efisiensi) dan memastikan pelanggan merasakan pengalaman yang menyenangkan dan tidak terlupakan (kepuasan pelanggan). Seorang karyawan bernama Jane memahami dan melaksanakan hal tersebut dengan baik. Suatu hari, Jane sedang akan keluar mengirimkan paket dan disambut oleh seorang kakek yang meminta Jane untuk menjelaskan jasa mana yang tepat untuk kebutuhannya. Jane meluangkan waktunya untuk memberikan penjelasan. Hal ini sangat baik dilakukan karena akan meningkatkan kepuasan pelanggan. Tetapi di sisi lain, beberapa menit yang dihabiskan untuk penjelasan tersebut akan memperpanjang waktu pengiriman. Dilema ini tentu dialami oleh ribuan karyawan lain.

Contoh lain, Ryanair, sebuah maskapai penerbangan Irlandia bertarif rendah, telah menyatakan secara jelas bahwa efisiensi merupakan prioritas operasional, dan lebih utama dibandingkan kepuasan pelanggan. Seluruh karyawan paham hal tersebut, dan oleh sebab itu, mereka paham bagaimana mengalokasikan waktu yang dimiliki dalam pekerjaan –untuk efisiensi operasional. Menyusun prioritas meningkatkan tingkat keberhasilan proyek-proyek strategis dan menghilangkan ambiguitas dalam operasional. Rodriguez (2016) menjelaskan bahwa perusahaan dapat mengurangi biaya operasional sekitar 15% karena berhasil mengesampingkan proyek-proyek non-prioritas dan menghilangkan duplikasi prosedur yang dapat membingungkan staf operasional.

Pada dasarnya, menyusun proyeksi bisnis dalam kondisi yang cepat berubah, tidak pasti, rumit, dan ambigu bukan berarti bahwa perusahaan membutuhkan sumber daya lebih banyak. Perusahaan tetap dapat menggunakan sumber daya sesuai kebutuhan apabila hal-hal mendasar dalam penyusunan proyeksi dapat dipenuhi oleh perusahaan. Beberapa hal mendasar yang harus diperhatikan oleh perusahaan dalam menyusun proyeksi bisnis adalah membuat beragam skenario, baik skenario paling optimis maupun pesimis. Membuat proyeksi berdasarkan banyak skenario mencerminkan bahwa perusahaan selalu mengakomodir faktor ketidakpastian utama seperti regulasi pemerintah, persaingan dari perusahaan lama maupun baru, pertumbuhan ekonomi secara nasional, dan faktor utama lainnya. Selain itu, perusahaan harus mengidentifikasi dan menelaah asumsi yang digunakan secara berkala. Perusahaan tidak perlu membuat proyeksi dengan jangka waktu yang terlalu panjang agar dapat lebih cepat dan tepat dalam merespon perubahan yang terjadi.

***

   For Further Information, Please Contact Us!